//
Konflik Papua tampaknya tidak akan selesai dengan mudah. Wilayah yang kembali ke pangkuan NKRI pada 1 Mei 1963 itu terus bergolak. Masih ada sejumlah insiden yang merenggut korban jiwa.
Peneliti Papua asal LIPI, Muridan Wijoyo, mengungkapkan hal baru. Menurutnya, permasalahan di Papua bukan hanya persoalan kesejahteraan saja.
“Ada sebagian pimpinan Papua yang mempertanyakan kembali hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua pada 1969. Mereka mengaku mendapat intimidasi agar memilih Papua masuk ke NKRI,” kata Muridan, saat dihubungi VIVAnews.com, Kamis 3 November 2011.
Muridan menjelaskan, Pepera itu digelar untuk menjalankan perintah dari perjanjian New York pada 1962, yang menyebutkan bahwa untuk memastikan apakah Papua bagian dari NKRI atau bukan harus dilakukan Pepera.
Menurutnya, Pepera 1969 dihadiri oleh sekitar 1025 perwakilan rakyat Papua. Pepera digelar di sejumlah kabupaten antara lain di Jayapura, Biak, dan Merauke. Berdasarkan hasil Pepera saat itu, semua perwakilan menyatakan mau bergabung dengan RI.
“Hasil Pepera 1969 ini pun kemudian diakui oleh PBB dan dikeluarkan resolusi yang menyatakan Papua sebagai bagian yang sah dari NKRI. Resolusi ini juga disetujui 80 negara anggota PBB dan hanya 20 negara yang abstain,” jelasnya. “Tidak ada negara di dunia yang menolak masuknya Papua ke Indonesia.”
Tetapi, lanjut Muridan, hasil Pepera 1969 itu menuai pro dan kontra. Karena ada sebagian rakyat Papua yang menyatakan ada mobilisasi yang dilakukan kepada orang asli Papua agar memilih masuk Indonesia. “Ini yang kemudian dipersoalkan orang Papua dan menjadi alasan Pepera itu menjadi tidak sah,” ujarnya.
Mengenai kebenaran alasan rakyat Papua mendapat intimidasi sebelum adanya pepera, Muridan mengaku masih belum tahu. Karena sampai saat ini belum pernah ada investigasi mengenai pengakuan orang Papua tersebut. “Selama ini hanya ada pengakuan-pengakuan saja dari orang Papua, belum pernah ada investigasi apa benar terjadi intimidasi. Tapi secara legal, posisi Papua sebagai bagian dari NKRI itu kuat, karena sudah diakui oleh PBB,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan rohaniawan Papua, Socratez Sofyan Yoman. Menurutnya, persoalan utama mereka adalah sejarah dan integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia yang belum selesai. Selain itu adalah soal pelanggaran HAM, pembangunan yang gagal dan marjinalisasi penduduk asli Papua.
“Dari dulu sampai hari ini diskusi-diskusi di media belum menyentuh substansi masalah. Sementara pemerintah tidak mau melihat masalah Papua,” katanya dalam diskusi dan peluncuran buku ‘West Papua: Persoalan Internasional’ di kantor Kontras Jakarta, Kamis 3 November 2011.
Socratez menyatakan, masyarakat Papua saat ini masih mempertanyakan legitimasi Negara hasil Pepera tahun 1969. Dia menyebut mereka cenderung tidak mengakui Papua bagian dari NKRI dan meminta status itu ditinjau kembali.
“Saya melihat kegelisahan rakyat Papua yang selalu menghadapi kekerasan pemerintah dan negara. Mereka mendapatkan stigma sebagai kelompok separatis, atau makar. Kekerasan dan gejolak tidak pernah diselesaikan,” katanya.
Dia juga menyinggung sejarah integrasi Papua yang melibatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia. Menurutnya, hal itu membuktikan bahwa masalah Papua adalah persoalan yang berdimensi internasional.
“Jangan lupa PT Freeport adalah aset internasional yang selalu dijaga TNI dan Polri. Bagaimana tentara dan polisi Indonesia membunuh rakyat Papua demi melindungi dan menjaga perusahaan asing,” kecamnya.
Muridan menambahkan, selama ini cara yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menangani persoalan di Papua tidak tepat. Operasi militer yang digunakan pemerintah untuk membuat Papua aman justru membuat rakyat Papua semakin dendam kepada pemerintah.
“Selama ini kan dipakai operasi militer, kampungnya dibumihanguskan untuk menimbulkan efek ketakutan. Cara ini justru membuat mereka (rakyat Papua) menjadi dendam dan semakin bersemangat memisahkan diri dari RI,” ujarnya.
Seharusnya, lanjut dia, cara yang dipakai adalah dengan dialog. “Cara ini kan sudah pernah dilakukan di Aceh, seharusnya dipakai juga di Papua,” ujarnya.
4 Faktor Kekerasan di Papua
Meski ada fakta baru mengenai adanya ketidakpuasan rakyat Papua atas Pepera 1969, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, menyatakan ada 4 faktor yang memicu keamanan Papua tidak kondusif.
Pertama, adanya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, lanjut dia, peningkatan eskalasi di Papua saat ini, masih tergolong ancaman internal. Sehingga Polri yang berwenang menangani masalah keamanan itu. Namun demikian, TNI juga diminta bantuan oleh Polri.
“Tentu ada permintaan Polri agar TNI turun, tapi sejauh ini kita tidak melibatkan dari luar wilayah Papua. Jadi Kesatuan TNI di Papua menangani ini untuk membantu Polri,” ujar Purnomo.
Faktor kedua adalah kasus PT Freeport Indonesia yang telah bercokol di Papua sejak lama. Ada dua masalah Freeport di Papua. Pertama, masalah mogok kerja, hubungan antara managemen dan karyawan.
“Saya dapat laporan pagi ini sudah ada kemajuan, tetapi belum juga ada kemajuan karena antara tuntutan dan apa yang telah dimaui oleh Freeport perbedaannya masih cukup jauh,” ujarnya
Masalah Freeport kedua adalah penambangan ilegal yang terjadi di Mil 34 dan Mil 39. “Makanya tidak heran kalau aksi penembakan dan kekerasan terjadi di antara Mil 34 dan Mil 39 karena memang di situ banyak terjadi operasi illegal mining karena memang sistem processing yang dilakukan PT Freeport masih menyisakan banyak tiling dan residu yang bisa diambil oleh masyarakat dan ini keuntungannya sangat besar sekali,” kata Purnomo.
“Pemda Papua sedang menyiapkan suatu keputusan Pemda yang mudah-mudahan bisa menyelesaikan permasalahan ini.”
Sedangkan faktor ketiga yang menyebabkan kacaunya keamanan papua adalah disparitas ekonomi. Sebagian kalangan mengatakan bahwa UU Otonomi Khusus terutama UU No. 21 itu belum berjalan, walaupun UU Otonomi ini sebenarnya telah memberikan kewenangan yang cukup besar bagi Papua.
Banyak tudingan menyebutkan kekayaan Papua sebagian besar dibawa ke pusat. Sehingga memunculkan gejolak masyarakat. Namun, menurut Purnomo, tudingan itu tidak benar. “Sekitar 80 persen hasil tambang, perikanan, dan kehutanan, itu kembali ke rakyat Papua, dan untuk migasnya 70 persen. Sekitar Rp28 Triliun yg dinikmati oleh sekitar 3 juta penduduk Papua.”
Menurut Purnomo, yang perlu dilihat adalah pelaksana otonomi tersebut. Karena hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mengatakan memang ada penyimpangan dalam pemakaian dana otonomi ini.
Sedangkan faktor keempat adalah masalah Pilkada. Fanatisme antar pendukung calon dalam pilkada di Papua menyebabkan kerusuhan belakangan ini.
“Empat hal ini sebetulnya adalah rangkuman yang saya bisa lihat di Papua,” ungkapnya.
Sementara itu, Panglima TNI, Laksamana TNI Agus Suhartono, memastikan, saat ini Provinsi Papua telah kondusif. Namun, dia meminta kepada masyarakat dan aparat penegak hukum untuk tetap waspada terhadap sejumlah kemungkinan yang dapat terjadi.
“Dari Bintang Kejora, Freeport, sampai masalah konggres rakyat [Konggres Papua III], semuanya sekarang sudah kondusif. Namun demikian, kami tetap waspada,” kata Agus Suhartono.
Kewaspadaan diperlukan terutama menjelang 1 Desember yang diklaim sebagai Hari Kemerdekaan Papua. Di hari itu, bendera Bintang Kejora dikibarkan di sejumlah titik di Papua. “Untuk dipahami bahwa semua kegiatan ini akan berujung pada 1 Desember,” tambahnya.
Agus mengatakan saat ini sedang dibahas langkah-langkah penyelesaian konflik kemanusiaan yang ada di Papua. Pihaknya bersama Kementerian Pertahanan akan membicarakan masalah ini sore ini. “Persiapan kami akan bicara soal Papua salah satunya. Langkahnya nanti akan kami bahas,” tandasnya.
0 komentar:
Posting Komentar