‘Uqbah bin ‘Amir z berkata:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ n يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّف لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada tiga waktu di mana Nabi n melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim no. 1926)
Dalam hadits di atas kita pahami ada tiga waktu yang terlarang bagi kita untuk melaksanakan shalat di waktu tersebut, yaitu:
1. Ketika matahari terbit sampai tinggi
2. Saat matahari di tengah langit, ketika tidak ada bayangan benda di timur dan di barat
3. Ketika matahari hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri z disebutkan, termasuk waktu yang dilarang untuk shalat adalah setelah shalat subuh sampai matahari tinggi dan setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam. Rasulullah n bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)
Adapun sebab dilarangnya shalat di tiga waktu di atas (pada hadits ‘Uqbah bin ‘Amir z) disebutkan dalam hadits berikut ini:
‘Amr bin ‘Abasah z mengabarkan tentang pertemuannya dengan Nabi n di Madinah setelah sebelumnya ia pernah bertemu dengan beliau ketika masih bermukim di Makkah. Saat bertemu di Madinah ini, ‘Amr bertanya kepada beliau tentang shalat maka beliau memberi jawaban:
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ؛ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُوْرَةٌ، حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ حِيْنَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ. فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُوْدَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari. Kemudian shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga tombak tidak memiliki bayangan, kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat karena ketika itu neraka Jahannam dinyalakan/dibakar dengan nyala yang sangat. Apabila telah datang bayangan (yang jatuh ke arah timur/saat matahari zawal) shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mengerjakan shalat ashar (terus boleh mengerjakan shalat sampai selesai shalat ashar, pent.), kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat hingga matahari tenggelam karena matahari tenggelam di antara dua tanduk syaitan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.” (HR. Muslim no. 1927)
Al-Imam An Nawawi t berkata, “Umat sepakat tentang dibencinya shalat yang dikerjakan tanpa sebab pada waktu-waktu terlarang tersebut. Mereka juga sepakat bolehnya mengerjakan shalat fardhu yang ditunaikan pada waktu-waktu terlarang tersebut. Adapun untuk shalat nawafil (shalat sunnah) yang dikerjakan karena ada sebab, mereka berbeda pendapat. Seperti shalat tahiyatul masjid, sujud tilawah dan sujud syukur, shalat id, shalat kusuf (gerhana), shalat jenazah dan mengqadha shalat yang luput dikerjakan. Mazhab Asy-Syafi’i dan satu kelompok membolehkan semua itu tanpa ada karahah (kemakruhan). Mazhab Abu Hanifah dan yang lainnya memandang semuanya masuk ke dalam larangan karena keumuman hadits-hadits yang melarang. Al-Imam Asy-Syafi’i t dan orang-orang yang sependapat dengannya berargumen bahwa telah tsabit (shahih) dari perbuatan Nabi n bahwa beliau mengqadha shalat sunnah yang mengikuti shalat zuhur setelah shalat ashar1. Ini jelas menunjukkan tentang bolehnya mengqadha shalat sunnah yang luput dikerjakan pada waktunya. Tentunya kebolehan untuk mengerjakan shalat sunnah yang memang pada waktunya lebih utama lagi. Dan mengerjakan shalat faridhah (wajib) yang diqadha karena luput dari waktunya lebih utama lagi. Termasuk dalam kebolehan ini adalah shalat yang dikerjakan karena ada sebab.” (Al-Minhaj, 6/351)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata setelah membawakan ucapan Al-Imam An-Nawawi t di atas, “Penukilan ijma’ dan kesepakatan oleh Al-Imam Nawawi perlu dikomentari. Karena, selain beliau telah menghikayatkan dari sekelompok salaf tentang bolehnya shalat di waktu-waktu terlarang secara mutlak sementara hadits-hadits yang melarang tersebut mansukh (dihapus hukumnya) –menurut pendapat Dawud dan selainnya dari ahlu zahir, dan ini yang dipastikan oleh Ibnu Hazm t–; ada pula penghikayatan dari kelompok yang lain tentang larangan secara mutlak dalam seluruh shalat. Didapatkan adanya berita yang shahih dari Abu Bakrah dan Ka’b bin Ujrah tentang larangan mengerjakan shalat fardhu pada waktu-waktu terlarang ini. Ulama yang lainnya menghikayatkan adanya ijma’ tentang bolehnya shalat jenazah di waktu-waktu yang makruh. Namun pendapat ini perlu dikomentari dengan penjelasan yang akan datang pada babnya. Ibnu Hazm t dan selainnya ketika menyatakan mansukh-nya hadits yang menyebutkan waktu-waktu terlarang shalat, mereka bersandar dengan hadits:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَلْيُصَلِّ إِلَيْهَا أُخْرَى
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka hendaklah ia mengerjakan rakaat yang berikutnya.”
Maka ini menunjukkan bolehnya shalat pada waktu-waktu yang dilarang.
Namun yang lainnya mengatakan, “Pengkhususan (takhshish) lebih utama daripada menganggap adanya naskh. Sehingga pelarangan ini dibawa kepada pemahaman bahwa yang dilarang adalah shalat yang dikerjakan tanpa adanya sebab. Adapun shalat yang memiliki sebab maka dikhususkan dari pelarangan (yakni boleh dilakukan di waktu-waktu terlarang, pent.) dalam rangka menggabungkan di antara dalil-dalil yang ada.” (Fathul Bari, 2/78)
Penulis Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang shalat di waktu-waktu terlarang. Jumhur ulama berpandangan dibencinya mengerjakan shalat di waktu tersebut. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang shahih ini dan selainnya. Zahiriyah berpandangan bolehnya shalat di waktu tersebut. Adapun hadits-hadits yang melarang, mereka mengatakannya mansukh. Namun semua hadits yang mereka anggap mansukh, ulama menjadikannya termasuk bab membawa nash yang muthlaq kepada yang muqayyad, atau membangun yang khusus di atas yang umum. Tidak perlu menghukumi mansukh kecuali bila nash-nash tersebut tidak mungkin dikumpulkan/digabungkan. Sementara nash-nash dalam masalah ini mungkin bahkan mudah dikumpulkan.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, shalat apa sajakah yang dilarang untuk dikerjakan di waktu-waktu tersebut?
Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah berpandangan yang dilarang adalah seluruh shalat sunnah kecuali dua rakaat thawaf. Mereka berdalil dengan keumuman larangan yang disebutkan dalam hadits-hadits.
Asy-Syafi’iyyah dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, serta pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan sekelompok muridnya, yang dilarang adalah shalat-shalat sunnah yang dikerjakan tanpa sebab. Adapun yang memiliki sebab seperti shalat tahiyatul masjid bagi orang yang masuk masjid, shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu, maka dibolehkan ketika ada sebabnya di waktu apa saja. Dalil mereka dalam hal ini adalah hadits-hadits khusus yang menyebutkan tentang shalat-shalat ini sebagai pengkhususan bagi hadits-hadits yang berisi pelarangan secara umum2.
Dengan pendapat ini terkumpullah dalil-dalil seluruhnya dan bisa diamalkan seluruh hadits dari dua pihak yang berbeda pendapat.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, apakah larangan yang ada dimulai pada waktu subuh dari mulai terbitnya fajar kedua atau dimulai dari pengerjaan shalat subuhnya?
Hanafiyyah berpendapat pelarangan dimulai dari waktu terbitnya fajar kedua. Pendapat ini juga masyhur dari mazhab Hanabilah. Mereka berdalil dengan beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Ashabus Sunan Al-Arba’ah (penulis kitab Sunan yang empat) dari Ibnu ‘Umar c, “Bahwasanya Nabi n bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْفَجْرِ إِلاَّ سَجْدَتَيْنِ
“Tidak ada shalat setelah fajar kecuali dua sujud (shalat dua rakaat).”
Hadits ini menunjukkan haramnya mengerjakan shalat sunnah setelah terbitnya fajar kecuali dua rakaat qabliyah fajar. Karena yang dimaukan dari penafian (peniadaan dalam hadits di atas dengan lafadz: “Tidak ada shalat….”-pent.) adalah pelarangan. Mayoritas ulama berpendapat larangan dimulai dari selesai pelaksanaan shalat fajar (yakni tidak ada shalat sunnah yang dikerjakan setelah mengerjakan shalat fajar/subuh, pent.) bukan dimulai dari terbitnya fajar. Mereka berdalil dengan beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Sa’id z:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari ‘Umar ibnul Khaththab z, bahwasanya Nabi n bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits-hadits selainnya yang banyak lagi shahih.
Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama, ada maqal (masih diperbincangkan). Tidak bisa dihadapkan dengan semisal hadits-hadits ini.” (Taisirul ‘Allam, 1/129)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar